Membaca sebuah tulisan terkait dengan kebiasaan yang dilakukan oleh para guru di Finlandia sungguh membuat kita iri tentunya apalagi jika dikaitkan dengan prestasi pendidikan negara tersebut yang menjadi the best di tingkat dunia saat ini. Para siswa-siswa Finlandia tidak stres akut dengan beban ujian sekolah, dan secara umum menghabiskan waktu belajar yang lebih sedikit. Siswa-siswa Finlandia juga tidak disibukkan dengan les privat , bimbingan belajar, atau istilah lainya seperti tambahan belajar. Proses belajar mengajar terkesan lebih bersahabat baik bagi siswa, guru, sekolah dan orang tua. Kondisi sebaliknya jika kita mengamati beberapa waktu yang lalu di negeri ini dimana para siswa kita banyak yang stres menghadapi UN ditambah lagi dengan carut marutnya pelaksanaan UN beberapa waktu yang lalu menambah suramnya wajah pendidikan di Indonesia. Sungguh sebuah ironi!
Nampaknya, kita memang harus banyak belajar dari guru-guru di Finlandia terkait dengan keberhasilan mereka untuk memajukan dunia pendidikan di negaranya. Terdapat sebuah paradoks, yang diistilahkan oleh Dr. Pasi Sahlberg dengan istilah “teach less, learn more.” Kalimat tersebut dapat dijelaskan dalam tiga point penting, yaitu pentingnya waktu bermain bagi siswa, pentingnya kreativitas, dan guru mengajar siswa yang sama selama beberapa tahun.
Pertama, penekanan pada pentingnya waktu bermain bagi anak di sekolah. Mungkin terdengar aneh bagi kita, tapi para guru Finlandia percaya bahwa bermain dapat membantu meningkatkan performa akademik siswa. Karena itu kegiatan bermain bebas ini dapat merangsang kreatifitas, keterampilan sosial, kolaborasi dan kepemimpinan disamping anak-anak juga bergerak secara fisik. Prinsipnya: “The children can’t learn if they don’t play. The children must play.”
Kedua, penekanan pada pentingnya kreatifitas. Menurut guru Finlandia mata pelajaran terpopuler di kalangan siswa Finlandia adalah art and craft terutama kerajinan kayu (woodwork). Kenapa demikian? Karena kreatifitas dianggap sangat penting, maka mata pelajaran art and craft diposisikan pada urutan atas pula.
Ketiga, guru mengajar kelompok siswa yang sama selama beberapa tahun, bahkan ada yang bisa selama keseluruhan 6 tahun di sekolah dasar. Dengan cara ini guru bisa lebih mengenal siswanya dan menyesuaikan cara penyampaian pelajaran. Guru juga dapat memantau perkembangan akademik, sosial dan emosionalnya dengan lebih baik.
Saat ini jika kita mencermati secara umum pola pengajaran yang terjadi di lingkungan sekolah kita pola pengajaran yang kita lakukan sering terjebak dalam kondisi ‘kekakuan’ serta cenderung selalu di ‘Zona Nyaman’ kita sehingga terkesan mempertahankan pola pengajaran tradisional. Kondisi ini tentunya juga semakin ‘menyiksa’ para siswa kita di kelas. Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramah-ceramahnya menyampaikan sejumlah informasi/materi pelajaran yang sudah disusun secara sistematis mengkondisikan siswa dalam tingkat partisipasi yang rendah serta siswa sering berada dalam situasi “tertekan” yang berakibat pada tidak optimalnya pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya menjadi rendah termasuk juga aktivitas belajar yang kurang menantang siswa untuk melakukan kerja yang maksimal.
Bahkan, Lebih memprihatinkan lagi adalah menurut sebagian peserta didik bahwa guru-lah salah satu faktor penyebab sulitnya mereka belajar, atau guru-lah yang menyulitkan. Sehubungan dengan itu guru dituntut untuk membangkitkan selera belajar siswa yang disebut motivasi belajar (Mulyasa, E, 2009: 157). Penguasaan sistem how to learn atau bagaimana cara belajar hampir tidak pernah didapat dibangku sekolah. Alasannya, di samping guru-gurunya tidak mengetahui sistem how to learn, mereka juga disibukkan oleh “target” pemberian materi what to learn sesuai kurikulum yang sudah ditetapkan. Jika hal-hal tersebut di atas terus berlanjut maka tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya tidak dapat tercapai. Selain itu, hal yang menjadi hambatan selama ini adalah pembelajaran oleh guru seringkali dikemas dengan cara yang konvensional yang selalu melaksanakan rutinitas yang cenderung mengendapkan kreativitas serta seperti menutup mata terhadap perkembangan IPTEK yang sebenarnya memberi kemudahan dalam konteks penyampaian materi pelajaran, namun semua itu seperti terabaikan begitu saja.
Nah, mencermati beberapa paragraf tersebut di atas kita dapat menerapkan hal-hal yang telah dipraktekkan para guru di Finlandia tersebut di negara kita tentunya dengan mengadobsi sebagian yang cocok dengan berbagai adaptasi dan kreasi yang kita miliki disesuaikan dengan keadaan, karaktersistik siswa serta kemampuan yang kita miliki tentunya. Para guru Finlandia tersebut mengatakan bahwa mereka senantiasa terus belajar dari perkembangan-perkembangan riset ilmu pendidikan. Sepertinya mereka percaya bahwa jika pembelajaran dilakukan dengan cara-cara terbaik sesuai ilmu pengetahuan yang ada, dan jika hal ini dilaksanakan dengan konsisten, maka hasil pembelajaran, diuji dengan cara apapun, akan ikut baik. Rupanya ini salah satu rahasia di balik ”teach less, and learn more” ala Finlandia tersebut.
Gelorakan semangat untuk terus belajar!
Salam Guraru!
http://taufikibrahim.wordpress.com/
Sumber:
http://www.bincangedukasi.com/tips-guru-finlandia.html
Mulyasa, E. 2009. Praktik Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya
Windura, Sutanto. 2008. Mind Map Langkah Demi Langkah. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo